Pembelajaran IPA yang Efektif
A.
Pembelajaran IPA
yang Efektif
Pembelajaran IPA pada
jenjang pendidikan dan dengan menggunakan pendekatan serta model apapun harus
benar-benar efektif. Pembelajaran
efektif adalah pembelajaran dimana siswa memperoleh keterampilan-keterampilan
yang spesifik, pengetahuan dan sikap serta merupakan pembelajaran yang
disenangi siswa. Intinya bahwa pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi
perubahan-perubahan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor (Reiser
Robert, 1996 dalam Irwan Safari, 2010).
Selain itu, menurut
buku Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif (Depdiknas, 2003:7-6) dalam Edi
Hendri Mulyana (2008:22), pembelajaran yang efektif secara umum diartikan sebagai
Kegiatan Belajar Mengajar yang memberdayakan potensi siswa (peserta didik)
serta mengacu pada pencapaian kompetensi individual masing-masing peserta
didik. Ada baiknya jika guru yang akan merancang pembelajaran IPA di SD
memperhatikan tujuh ciri utama pembelajaran efektif yang memberdayakan potensi
siswa. Ketujuh ciri itu adalah:
1. Berpijak pada
prinsip konstruktivisme
Pembelajaran
beranjak dari paradigm guru yang memandang bahwa belajar bukanlah proses siswa
menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru, melainkan sebagai proses
siswa membangun makna/pemahaman terhadap informasi dan/atau pengalaman. Proses
tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain.
Salah
satu contoh yang disarankan adalah memulai dari apa yang menurut siswa hal yang
biasa, padahal sesungguhnya tidak demikian. Perlu diupayakan terjadinya situasi
konfik pada struktur kognitif siswa. Contohnya mengenai cecak atau cacing
tanah. Mereka menduga cecak atau cacing tanah hanya satu macam, padahal keduanya
terdiri lebih dari satu genus (bukan hanya berbeda species). Berikut ini akan
dicontohkan model untuk pembelajaran mengenai cacing tanah melalui ketiga tahap
dalam pembelajaran kntruktivisme (ekplorasi, klarifikasi, dan aplikasi)
a) Fase
Eksplorasi
1) Diperlihatkan
tanah berisi cacing dan diajukan pertanyaan: “Apa yang kamu/kalian ketahui
tentang cacing tanah?”.
2) Semua
jawaban siswa ditampung (ditulis dipapan tulis jika perlu).
3) Siswa
diberi kesempatan untuk memeriksa keadaan yang sesungguhnya, dan diberi
kesempatan untuk merumuska hal-hal yang tidak sesuai dengan jawaban mereka
semula.
b) Fase
Klarifikasi
1) Guru
memperkealkan macam-macam cacing dan spesifikasinya.
2) Siswa
merumuskan kembali pengetahuan mereka tentang cacing tanah. Guru memberikan
masalah berupa pemilihan cacing yang cocok untuk dikembangbiakkan.
3) Siswa
mendiskusikannya secara berkelompok dan merencanakan penyelidikan.
4) Secara
berkelompok siswa melakukan penyelidikan untuk menguji rencananya. Siswa
mencari tambahan rujukan tentang manfaat cacing tanah dulu dan sekarang.
c) Fase
Aplikasi
1) Secara
berkelompok siswa melaporkan hasilnya, dilanjutkan dengan penyajian oleh wakil
kelompok dalam diskusi kelas.
2) Secara
bersama-sama siswa merumuskan rekomendasi untuk para pemula yang ingin
ber-“ternak cacing” tanah. Secara perorangan siswa membuat tulisan tentang
perkehidupan jenis cacing tanah tertentu sesuai hasil pengamatannya.
Contoh lain misalnya,
anak memiliki skemata tentang baterei yang digunakan pada senter yang berguna
sebagai alat penerang, seiring jalannya waktu dan pengalaman yang dia dapat
dalam kehidupan sehari-hari dia mengetahui bahwa baterei bukan hanya digunakan
pada senter tapi juga pada remote tv, remote mobil, robot-robotan, discman,
radio dan lainnya. Dari pelajaran di sekolah ia tahu ternyata baterei adalah
benda yang dapat menghasilkan listrik.
2. Berpusat pada
siswa
Kegiatan
pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat
belajar, dan cara penilaian perlu beragam sesuai karakteristik siswa. Pembelajaran perlu menempatkan siswa sebagai
subjek belajar. Artinya pembelajaran memperhatikan bakat, minat, kemampuan,
cara dan strategi belajar, motivasi belajar, dan latar belakang sosial siswa.
Pembelajaran perlu mendorong siswa untuk mengembangkan potensi secara optimal.
3. Belajar dengan
alami
Pembelajaran
perlu menyediakan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari dan atau duni
kerja yang terkait dalam penerapan konsep, kaidah dan prnsip ilmu yang
dipelajari. Karena itu, semua siswa diharapkan memperoleh pengalaman langsung
melalui pengalaman indrawi yang memungkinkan mereka mengolah informasi dari
melihat, meraba/menjamah, mencicipi, dan mencium.
4. Mengembangkan
keterampilan sosial, kognitif dan emosional
Membangun
pemahaman akan lebih mudah jika melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya.
Interaksi memungkinkan terjadinya perbaikan terhadap pemahaman siswa melalui
diskusi, saling bertanya, dan saling menjelaskan. Penyampaian gagasan oleh
siswa dapat mempertajam, memperdalam, memantapkan, atau menyempurnakan gagasan
itu karena memperoleh tanggapan dari siswa lain atau guru.
5. Mengembangkan
keingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan
Rasa ingin tahu
dan imajinasi merupakan modal dasar untuk peka, kritis, mandiri, dan kreatif.
Sementara, rasa fitrah ber-Tuhan merupakan embrio atau cikal bakal untuk
bertaqwa pada Tuhan. Pembelajaran perlu mempertimbangkan rasa ingin tahu,
imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan agar setiap sesi kegiatan pembelajaran menjadi
wahana untuk memberdayakan ketiga jenis potensi ini.
6. Belajar
sepanjang hayat
Siswa memerlukan
kemampuan belajar sepanjang hayat untuk bisa bertahan (survive) dan berhasil (sukses) dalam menghadapi setiap masalah
sambil menjalani proses kehidupan sehari-hari. Pembelajaran perlu mendorong
siswa untuk dapat melihat didirnya secara positif dan membekali siswa dengan
keterampilan belajar.
7. Perpaduan
kemandirian dan kerjasama
Pembelajaran
perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan semangat
berkompetisi sehat untuk memperoleh penghargaan, bekerjasama, dan solidaritas.
Pembelajaran IPA
yang dirancang berdasarkan syarat-syarat pembelajaran efektif di atas, pada
pelaksanaannya akan menunjukkan tingginya kemampuan pembelajaran tersebut dalam
menyajikan karakteristik atau hakikat pendidikan IPA di SD. Karakteristik
tersebut meliputi dimensi (ruang lingkup) proses
ilmiah, produk ilmiah dan sikap ilmiah. Dimensi proses pendidikan IPA dengan ketat
menuntut guru untuk melibatkan siswa secara aktif ke dalam kegiatan-kegiatan
dasar yang biasa dilakukan oleh para ilmuan dalam upaya memperoleh pengetahuan.
Kegiatan dasar ini sering disebut sebagai metode
ilmiah (Scientific Method) dan keterampilan proses. Dimensi produk pendidikan IPA berhubungan dengan
sejumlah fakta, data, konsep, hokum atau
teori tentang fenomena alam semesta yang harus dikuasai siswa sebagaimana
tertuang dalam kurikulum dan berbagai buku ajar pendidikan IPA. Dimensi sikap
merupakan hasil internalisasi dan akumulasi pengetahuan dan pengalaman siswa
dalam mengikuti proses pembelajaran IPA. Dimensi sikap ini sering disebut
sebagai sikap ilmiah (Scientific
Attitude).
Pembelajaran IPA
yang efektif juga dicirikan oleh tingginya kadar on-task (aktivitas edukatif) dan rendahnya kadar off-task (aktivitas non-edukatif) siswa
dalam pembelajaran. Menurut Horsley (1990:42) dalam Edi Hendri Mulyana (2008:25)
salah satu upaya untuk meningkatkan kadar on-task
siswa adalah dengan mengembangkan kegiatan hands-on
(psikomotor) dan minds-on (kognitif-afektif)
melalui sejumlah keterampilan (skill)
yang dilakukan siswa dalam kelas. Menurutnya, ada empat jenis keterampilan:
keterampilan laboratorium (laboratory
skill), keterampilan intelektual (intellectual
skill), keterampilan berpikir dasar (generic
thinking skill) dan keterampilan berkomunikasi (communication skill). Keempat jenis keterampilan ini tidak lain
merupakan pengelompokkan dari keterampilan proses IPA yang sudah kita kenal.
Dalam
menyelenggerakan pembelajaran IPA dengan pendekatan dan model apapun guru harus
tetap pro aktif sebagai fasilitator. Jika semua itu tercapai secara optimal
maka dapat dipastikan bahwa pembelajaran IPA yang diselenggarakan guru adalah
pembelajaran IPA yang efektif.
B. Rambu-rambu Pembelajaran Sains (IPA) dalam Kurikulum
Dari berbagai buku layanan
professional untuk pelaksanaan kurikulum 2004 atau sekarang disempurnakan
menjadi kurikulum 2006, diperoleh rambu-rambu pembelajaran IPA di SD sebagai
berikut:
1. Bahan kajian
sains untuk kelas I, II, dan III tidak diajarkan sebagai mata pelajaran yang
berdiri sendiri, tetapi diajarkan dengan pendekatan tematis.
2. Aspek kerja
ilmiah bukanlah bahan ajar, melainkan cara untuk menyampaikan bahan
pembelajaran yang terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran.
3. Pendekatan yang
digunakan dalam pembelajaran IPA berorientasi pada siswa.
Ada 6
pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran IPA yang
berorientasi pada siswa, yaitu:
a.
Empat pilar pendidikan yaitu belajar untuk mengetahui
(learning to know), belajar untuk
melakukan (lerning to do), belajar
untuk hidup (learning to live together),
belajar untuk menjadi dirinya sendiri (learning to be).
b.
Inkuiri IPA.
c.
Konstruktivisme.
d.
Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat
(Salingtemas).
e.
Pemecahan masalah.
f.
Pembelajaran IPA yang bermuatan nilai.
4. Pemberian
pengalaman belajar secara langsung sangat ditekankan melalui penggunaan dan
pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah dengan tujuan untuk memahami
konsep-konsep dan mampu memecahkan masalah.
5. Pembelajaran IPA
dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti pengamatan,
pengujian/penelitian, diskusi, penggalian informasi mandiri melalui tugas baca,
wawancara nara sumber, simulasi/bermain pern, nyanyian, demonstrasi/peragaan
model.
6. Kegiatan
pembelajaran lebih diarahkan pada pengalaman belajar langsung daripada
pengajaran (mengajar).
7. Apabila
dipandang perlu, guru diperkenankan mengubah urutan materi asal masih dalam
semester yang sama.
8. Guru dapat
memberikan tugas proyek yang perlu dikerjakan serta ditinjau ulang untuk
senantiasa menyempurnakan hasil.
9. Penilaian
tentang kemajuan belajar siswa dilakukan selama proses pembelajaran.
Semoga Bermanfaat
ReplyDelete